Oleh : Fitrianingsih, S.Pd.I
Akhir - akhir ini istilah “generasi milenial” atau ada juga yang menyebutnya dengan istilah “kids zaman now”, sering menjadi tema utama dalam berbagai kesempatan. Mereka adalah generasi yang lahir pada tahun 1980-an sampai 1990-an atau awal tahun 2000. Generasi milenial lahir di tengah derasnya arus informasi dan perkembangan teknologi yang demikian pesat. Perkembangan teknologi dan informasi tersebut dianggap sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka. Bahkan dapat dikatakan bahwa alat-alat high technology telah menjadi bagian pokok dari kehidupan generasi ini. Sehingga era digital menjadi masa di mana generasi milenial berkuasa. Mereka juga sering di sebut sebagai kelompok yang cerdas media.
Dalam dunia pendidikan, perkembangan generasi milenial sedang memasuki jenjang pendidikan menengah atas dan tinggi. Banyak guru yang kemudian merasa khawatir dalam menyikapi perkembangan generasi ini. Sekolah menjadi sebuah lingkungan pembelajaran yang mempertemukan dua generasi berbeda. Mereka adalah generasi “x” (para guru) yang lahir tahun 60-80an dan generasi “milenial” ( para murid ) yang lahir setelah tahun 80an. Dua arus perbedaan tersebut bertemu dalam satu ruang pembelajaran, menjalin interaksi komunikasi, dan menggagas ide-ide pembelajaran. Peneliti sosiologi pendidikan di pusat penelitian kependudukan LIPI, Anggi Afriansyah mengungkapkan bahwa perbedaan karakteristik siswa dan guru tersebut menyebabkan adanya gap komunikasi.
Pendidikan pada dasarnya merupakan usaha kompleks untuk menyesuaikan kebudayaan dengan kebutuhan anggotanya dan menyesuaikan anggotanya dengan kebutuhan kebudayaan. Disini pendidikan harus bisa mengimbangi dinamika zaman yang mengikutinya. Tentu saja hal ini berpengaruh pada paradigma dan metode pembelajaran yang digunakan di lembaga-lembaga pendidikan. Tapscott berpendapat bahwa model pedagogi bagi generasi milenial telah mengubah pendekatan focus guru yang awalnya berlandaskan intruksi menjadi pendekatan focus siswa yang berlandaskan kolaborasi.
Gaya belajar generasi milenial terlihat lebih interaktif melalui kerjasama tim, kolaborasi, dan terstruktur dalam penggunaan teknologi. Generasi milenial adalah pembelajar otodidak yang tangguh. Pew Research Centre, dalam salah satu risetnya menyebut generasi milenial sebagai generasi yang ekspresif, percaya diri, liberal, semangat, dan terbuka pada tantangan. Mereka cenderung berwatak lebih terbuka, egaliter, demokratis, dan suka berdiskusi. Mereka juga cenderung kritis saat bertanya. Anak-anak milenial jika di suruh A akan bertanya kenapa harus A. Nah, di sini guru perlu memberikan pengertian kepada peserta didik terkait apa yang diharapkan guru. Sebaiknya, biarkan mereka berpendapat dan bertanya sesuai dengan pengetahuannya, bila ada hal yang kurang tepat barulah guru membuat ruang diskusi.
Tumbuh dan berkembang di era perkembangan teknologi dan komunikasi tentu menjadikan mereka mengalami perbedaan karakter, gaya hidup, dan identitias diri dengan generasi sebelumnya. Peneliti dari Dalton State College, Christy Price, mencoba memetakan seperti apa karakteristik pembelajar dari generasi milenial. Dari hasil penelitiannya di temukan bahwa ada lima teknik yang dapat digunakan untuk mendidik generasi milenial.
Pertama Research – Based Methods. Sebagai generasi multimedia, mereka lebih suka diberikan kesempatan untuk mencari dan merangkum informasi sendiri. Dalam hal ini guru dapat menyusun strategi pembelajaran misalnya dengan memberikan tugas mencari bahan atau materi pelajaran yang telah ditentukan terlebih dahulu, kemudian didiskusikan bersama-sama di dalam kelas. Secara tidak langsung guru telah memberi ruang bagi siswa untuk mendapatkan pengalaman belajar secara mandiri dan berkelompok. Dalam hal ini guru telah berperan sebagai fasilitator.
Kedua, relevance. Generasi milenial adalah generasi yang sangat menghargai sebuah informasi karena relevan dengan kehidupan mereka. Caranya bisa dengan menghubungkan konsep materi yang akan diajarkan dengan kasus-kasus terkini. Guru harus memilih materi yang ada di buku, yang kira - kira relevan dengan mereka dan akan banyak digunakan di dalam kehidupan. Saat ini banyak sekolah yang sudah mulai menerapkan pola pembelajaran yang baru untuk menyesuaikan diri dengan karakteristis dari generasi milenial. Generi ini tak perlu lagi disuguhi materi teoritis yang berlebihan, karna mereka sudah bisa membaca dan memiliki wawasan yang luas. Mereka hanya perlu diarahkan agar ilmu yang sudah mereka miliki dari hasil pencarian sendiri dapat diterapkan di kehidupan nyata.
Ketiga, rational. Generasi milenial dibesarkan dengan pola-pola demokratis oleh orang tua ataupun lingkungan mereka. Sehingga generasi milenial akan cenderung respect kalau tugas atau kebijakan yang diberikan kepada mereka di nilai rasional. Disini tugas guru adalah memberikan pemahaman yang tepat akan esensi dari tugas yang diberikan. Sehingga mereka pun bisa menerimanya dengan senang hati.
Keempat, relaxed. Berdasarkan penelitian, generasi milenial lebih senang berinteraksi dalam kondisi belajar yang tidak begitu formal atau yang bersifat lebih santai, termasuk juga di dalam komunikasi. Mereka telah menemukan cara baru dalam komunikasi yang efektif dan bahkan menkreasikan informasi tersebut secara mandiri untuk disajian kepada orang lain. Sebenarnya kondisi seperti ini dapat dimanfaatkan oleh pelaku pendidikan untuk membantu proses pembelajaran. Misalnya dengan membuat grup atau kelompok belajar melalui social media, seperti messenger, facebook, dan instagram. Atau bisa juga dengan memberikan materi ajar atau tugas yang harus dikerjakan oleh siswanya dengan memanfaatkan teknologi seperti email, blackberry, dan lain sebagainya.
Kelima, rapport. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa generasi milenial bersifat lebih relasional. Guru tidak boleh merasa paling benar dan menjadikan dirinya sebagai satu-satunya pusat pembelajaran. Tetapi lebih kepada bagaimana membangun iklim dialog yang terbuka dengan para siswa. Guru tidak lagi hanya sebatas mentransfer ilmu, melainkan juga memikirkan bagaimana siswa dapat mengaktualisasikan dirinya di dalam pembelajaran. Pola belajar ini diharapkan dapat membangun karakter anak yang berkembang akibat heterogenitas dan keterbukaan pikiran akan pengetahuan dan teknologi.
Menurut Anis Baswedan, pendidikan itu menumbuhkan, karena ia menumbuhan, maka hal fundamental yang dibutuhkan adalah tanah yang subur dan juga iklim yang baik. Lahan yang subur itu ada di rumah, di sekolah, dan di lingkungan. Kalau kita saat ini membayangkan anak – anak kita sebagai biji, maka biji itu tidak akan kelihatan batangnya, tidak kelihatan daunnya, juga tidak kelihatan akarnya. Sehebat apapun bijinya, maka tetap tidak akan mungkin kelihatan komponennya sekarang. Sebab ia masih biji, masih tertutupi oleh tanah. Namun jika biji itu sudah tumbuh dan berkembang, barulah perlahan akan kelihatan komponennya. Maka, ketika berbicara tentang pendidikan maka bayangkan seperti kita menumbuhkan biji itu.
Kadang kala kita melihat biji seperti melihat tanaman yang lengkap. Lalu kita ingin biji-biji tersebut memiliki semua komponennya. Tentu saja tidak bisa. Untuk menjadi tumbuhan yang lengkap, biji itu memerlukan proses penumbuhan. Sehingga kalau kita ingin melihat keberhasilan anak-anak, janganlah lihat hari ini, sebab saat ini mereka masih sebagai biji. Nanti ketika sudah mulai tumbuh dan menampakkan komponennya, barulah bisa dinilai.
Anies Baswedan di dalam sambutannya ketika membuka acara Education Expo ASESI ( Assosiasi Sekolah sunnah Indonesia ) berpesan bahwa ketika kita ingin memikirkan sekolah dan pendidikan, maka pikirkanlah masa depan. Pengelola pendidikan jangan terpukau dengan cerita masa lalu, tapi gelisalah dengan masa depan. Sebab berbicara pendidikan artinya berbicara tentang masa depan. Pendidikan adalah tentang bagaimana menyiapkan generasi baru untuk masa yang akan datang.
Di dalam proyeksi pendidikan abad 21, ada 3 komponen mendasar yang harus diperhatikan. Pertama, karakter atau akhlaq yang terdiri dari karakter moral ( iman, taqwa, jujur, rendah hati ) dan karakter kinerja ( ulet, kerja keras, tangguh, tuntas ). Kedua, adalah kompetensi, yang terdiri dari berfikir kritis, kreatif, komunikatif dan kolaboratif/kerjasama. Ketiga, adalah literasi atau keterbukaan wawasan, yang terdiri dari membaca, budaya, teknologi dan keuangan ).
Guru merupakan titik pusat untuk pelajar bisa menjawab tantangan dunia kerja di masa depan. Oleh karenanya, jangan lagi tanyakan pada anak didik besok ingin membuat apa, tapi tanyakanlah besok ingin jadi apa. Markus Budiraharjo menjelaskan bahwa dunia kerja di era digital menuntut kreativitas siswa, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan bekerja sama, kesediaan belajar terus menerus, kerendahan hati untuk mengakui keterbatasan diri, dan keterampilan mengambil resiko. Oleh sebab itu guru harus memiliki kepekaan dengan perubahan kebutuhan ketenagakerjaan di masa yang akan datang.
Generasi milenial, siswa milenial, dan anak-anak milenial sangat memerlukan figur guru dan orangtua yang pengertian, memberi bimbingan dalam komunikasi yang sejajar, gemar berdiskusi, dan memberikan nasihat dengan cara yang tidak menggurui. Generasi milenial tetaplah manusia yang membutuhkan perhatian, pengawasan, dan penghargaan diri dari guru dan orangtua. Guru dan orangtua harus bisa menjadi role model bagi siswa, yang berpegang teguh pada nilai-nilai kearifan lokal namun tetap terbuka pada perkembangan zaman.
Oleh karena itu keberadan teknologi hendaknya disikapi dengan pandangan positif. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi harus dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Guru dan siswa sebagai subyek pendidikan tidak semestinya menolak penggunaan teknologi sebagai jembatan pembangunan keilmuan. Teknologi tersebut merupakan alat untuk mewujudkan bangsa yang cerdas dan maju yang memiliki kecerdasan keterampilan abad 21. Internet dapat memberikan manfaat besar bagi pendidikan, penelitian, niaga, dan aspek kehidupan lainya. Kita harus mendorong anak-anak dan remaja untuk menggunakan teknologi sebagai alat penting untuk membantu pendidikan, meningkatkan pengetahuan, memperluas kesempatan serta keberdayaan dalam meraih kualitas kehidupan yang lebih baik. Mereka harus dapat memanfaatkan teknologi digital secara maksimal untuk membantu meningkatkan pengetahuan, memperluas kesempatan dan keberdayaan mereka dalam meraih kehidupan yang lebih baik.
Post a Comment